Pada
zaman dahulu, di sebuah dusun kurang lebih 2 kilometer dari kampung
kanali, ada sepasang muda-mudi yang saling mencinta. Percintaan mereka
tidak mendapat restu dari kedua orang tua mereka. Menurut adat dan
agama, mereka memang terlarang untuk menjadi suami isteri. Untuk
memisahkan mereka, kedua orang tua si gadis berencana untuk menikahkan
putrinya dengan pria lain. Sang pemuda merasa sakit hati dengan rencana
tersebut dan berusaha menggagalkan pesta pernikahan tersebut. Jauh
sebelumnya dia sudah memberitahukan rencana ini kepada kekasihnya.
Mereka sudah sepakat untuk melarikan diri di hari tersebut.
Anda
ingin tahu apa yang dilakukan pemuda tersebut? Pemuda tadi sengaja
mengumpulkan binatang-binatang laut yang dimasukkan ke dalam bambu.
Menurut kepercayaan saat itu, bila barang-barang tersebut diletakkan di
rumah orang yang sedang berpesta, akan menimbulkan malapetaka (dalam
bahasa banggai Tobibil) yang
amat besar di daerah itu. Pemuda itu nekat untuk mempersunting
idamannya, tanpa mempedulikan bila rencana tersebut akan menimbulkan
bencana besar bagi orang lain. Dia begitu yakin bahwa dengan perbuatan
yang akan dilakukan tersebut akan menimbulkan mata air yang membanjiri
seluruh daerah tersebut. Karena keyakinan tersebut, jauh hari sebelumnya
dia sudah menyiapkan sebuah perahu yang akan digunakan bersama
kekasihnya untuk melarikan diri ke daerah lain, dan hidup bahagia di
daerah yang baru.
Tepat
pada hari pernikahan sang gadis, pemuda tersebut mengikatkan
benda-benda pantangan yang telah dipersiapkan pada tiang utama rumah
panggung yang akan dibuat pesta, dengan harapan akan timbul Tobibil. Benar perkiraannya,
pesta
itu akhirnya buyar berantakan dengan timbulnya air bah yang memancar
dari bawah bangunan yang telah diletakkan benda-benda larangan tersebut.
Tanpa mempedulikan korban lain yang berjatuhan, pemuda tersebut segera
mengajak kekasihnya naik perahu yang telah disiapkannya. Merekapun
segera melarikan diri mengikuti derasnya air yang keluar dari dalam
tanah tersebut.
Rupanya
perbuatan mereka itu tidak hanya ditentang oleh kedua orang tuanya.
Alam dan Tuhan pun ikut murka pada perbuatan tersebut, sebab banyak
sekali rintangan yang menghadang pelarian kedua remaja tersebut. Pada
setiap perjalanan, perahu mereka selalu dihadang oleh pohon-pohon yang
tumbang, sehingga memaksa mereka untuk membelokkan arah ke tempat lain.
Demikianlah, rintangan bertubi-tubi datangnya, sehingga belokan perahu
itupun mencapai berpuluh-puluh tikungan. Pada belokan yang ke seratus,
mendadak di depan mereka ada sebuah lobang besar berdiameter kurang
lebih lima meter yang menelan air bah tersebut termasuk sepasang sejoli
tadi bersama perahunya. Tak seorangpun tahu apa yang dialami oleh dua
sejoli tersebut dalam tanah. Yang jelas, cita-cita mereka untuk hidup
bahagia bersama musnah sudah.
Kurang
lebih tiga bulan kemudian di kampung kanali muncullah dua mata air yang
jernih. Jarak antara mata air yang satu dengan mata air yang lainnya
kurang lebih 300 meter. Dari kedua mata air tersebut mengalirlah dua
sungai yang bermuara di lautan. Akhirnya, oleh penduduk kedua sungai itu
diberi nama sundano dan kekiap
yaitu nama sepasang sejoli yang bernasib sial tersebut. Penduduk
berkeyakinan bahwa kedua mata air itu adalah penjelmaan dari jasad
muda-mudi tersebut, yang mungkin perahunya pecah di kedalaman tanah
sana, sehingga tubuh mereka terlempar pada kedua mata air tersebut.
Nasib
kedua sejoli ini memang telah berakhir dengan tragis, tetapi
keanehan-keanehan muncul setelah peristiwa tersebut. Setiap enam bulan
sekali, air yang mengalir dari awal air bah menuju lobang besar tersebut
seperti tersumbat sesuatu, sehingga mengakibatkan seluruh daratan
tergenang air menjadi sebuah danau yang disebut Danau Tendetung.
Enam bulan kemudian air tersebut kering bagai ditelan bumi, sehingga
tampaklah air sungai yang berbelokan seratus tikungan tersebut. Anehnya
lagi, setiap surut atau kering, pada mata air sungai yang berkelok
seratus tadi bermunculan ikan-ikan yang disebut penduduk ikan Telendek.
Karena hal tersebut, banyak penduduk yang turun ke tendetung mencari
ikan sekalian berdarmawisata. Akibatnya, air yang ada di Sundano dan
Kekiap pun menjadi agak keruh. Karena hal ini terjadi secara rutin,
penduduk sekitar, termasuk suku Bajo, yang memanfaatkan air Sundano dan Kekiap bisa menandai, kapan air danau kering dan kapan air danau naik.
Satu keanehan lagi, yang sampai kini menjadi satu pantangan yang amat dipatuhi penduduk, yakni: Air
yang ada di Mata Air Sundano TIDAK BOLEH dicampurkan dengan air yang
ada di Mata Air Sungai Kekiap. Apabila pantangan ini dilanggar, niscaya
akan timbul sebuah malapetaka yang amat hebat (Papaak Koselese) di wilayah itu.
Adapun kepercayaan penduduk yang berpendapat bahwa sungai yang di bawah
tanah antara danau Tendetung dengan kedua sungai tersebut banyak
belokannya, ini bisa dibuktikan. Pernah diadakan percobaan dengan cara
menghanyutkan buah pinang ke dalam lobang masuk sungai di dalam tanah
tadi, kemudian menjaganya di mata air sundano, dan kekiap. Ternyata,
buah pinang tadi sampainya di sana sudah berwarna kuning, dan memakan
waktu sekitar 3 bulan. Padahal jarak dari lubang ke mata air tersebut
tidaklah jauh, kalau ditarik garis lurus, mungkin tak sampai semalam
sudah sampai ke tujuan.
Ada
lagi bukti lain, ada satu tempat di antara Danau Tendetung dan Kanali
yang disebut daerah Ndundung, bila kaki dihentakkan akan berbunyi
seperti bunyi Gong (Ndundung). Hal ini menandakan bahwa di dalam tanah
ada satu lobang besar. Demikianlah
kisah dibalik keunikan dan keanehan Danau tendetung. Bagi yang ingin
membuktikan keunikannya secara langsung, silahkan mengunjungi Danau
Tendetung yang berada di Kanali Kabupaten Banggai Kepulauan.
Karya Jar'an Fatah, dikutip dari Buletin Banggai Kepulauan
1 Comments:
keren juga ternyata kisahnya,,
salam saya dari pau sumondung, kecmatan bulagi
إرسال تعليق