Rabu, Agustus 24, 2016

Buletin Al-Iqro / Edisi: 21/ 24 April 2016

Sumber :http://www.berdikarionline.com/
Di masa Orde Baru, sosialisme sebagai sebuah gagasan dan gerakan politik diharamkan. Jangankan itu, pendiskusian yang berbau sosialisme bisa berbuntut buih.
Perilaku rezim Orba memang ahistoris. Mereka lupa, ajaran sosialisme punya akar yang kuat di Indonesia. Hampir semua pendiri bangsa Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, terpengaruh oleh ajaran marxisme dan sosialisme.
Tidak heran, di masa pergerakan anti-kolonialisme, cita-cita sosialisme mengendap dalam sanubari kaum pergerakan. Meskipun dengan penyebutan yang bermacam-macam, seperti ‘masyarakat adil dan makmur’ dan ‘sama rata, sama rasa’.
Sakit kuatnya pengaruh sosialisme itu, hampir semua pendiri bangsa Indonesia, termasuk Bung Hatta yang dicap moderat, mengakui bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme, yaitu sosialisme Indonesia.
Di tahun 1957, di depan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen, Tiongkok, Bung Hatta memberi jawaban. Menurutnya, sosialisme Indonesia dibentuk oleh tiga akar yang kuat.
Pertama, pengaruh literatur sosialisme barat, terutama yang terkait dengan tuntutan atas persamaan dan persaudaraan manusia melalui penghapusan masyarakat berkelas.
Ajaran Karl Marx, yang disebut marxisme, membantu kaum pergerakan Indonesia kala itu dalam membaca dan mengenali keadaan, menyingkap akar persoalan ketertindasan rakyat, dan menemukan jalan keluar atas penindasan yang dialami oleh rakyat tersebut.
“Maka dengan bantuan pendapat Marx dan Engels itu, tergambarlah dalam kalbu pemuda dan pelajar Indonesia dahulu suatu bentuk sosialisme Indonesia, yang sesuai dengan perkembangan dan struktur masyarakat Indonesia sendiri,” kata Bung Hatta.
Kedua, ajaran agama Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, dan keadilan sosial. Islam, kata Bung Hatta, menyokong persamaan dan persaudaraan seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Karena itu, islam sangat sejalan dengan ide-ide sosialisme. Hanya saja, kata Bung Hatta, spirit yang menggerakkan sosialisme barat dan Islam cukup berbeda. Sosialisme barat digerakkan oleh keadaan material, yakni struktur sosial dengan pertentangan kelas di dalamnya. Sedangkan Islam digerakkan oleh semangat pengabdian kepada Allah SWT. “Bagi Islam, sosialisme di dalam masyarakat adalah kewajiban hidupnya, suruhan Yang Maha Kuasa, yang tidak dapat diingkarinya,” kata Bung Hatta.
Ketiga, corak kolektif di dalam masyarakat desa Indonesia yang asli. Dalam masyarakat desa yang asli, kata Bung Hatta, berlaku kepemilikan bersama atas tanah sebagai alat produksi terpenting dalam struktur masyarakat agraris.
Semangat kolektifisme juga terpancang melalui semangat kerjasama dan tolong-menolong dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan, seperti menggarap sawah, memotong padi, membuat rumah, mengantar jenazah ke kubur, membuat pengairan, dan lain-lain.
Menariknya, ungkap Bung Hatta, semangat tolong-menolong dan gotong-royong bukan hanya dalam urusan kepentingan umum, seperti membuat jalan atau pengairan, melainkan juga dalam urusan-urusan private, seperti membuat rumah dan mengantar mayat ke kubur.
“Dalam masyarakat Indonesia yang asli tidak ada pemisahan yang tegas antara apa yang dikatakan urusan publik dan private, seperti yang berlaku di dalam masyarakat yang berdasarkan individualisme,” terangnya.
Di samping itu, lanjut Bung Hatta, masyarakat desa Indonesia juga mengenal demokrasi kolektif, yaitu proses pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh rakyat di desa. Tentunya melalui jalan musyawarah dan mufakat.
Tiga hal di atas, menurut Bung Hatta, yang membentuk corak sosialisme Indonesia. Lantas, muncul sebuah pertanyaan: seperti apa sosialisme Indonesia dalam bayangan Bung Hatta?
Ia memberi jawaban sederhana: “sebuah masyakarat yang adil dan makmur, yang terbebas dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup, dimana produksi dilakukan oleh orang banyak untuk orang banyak, atas dasar usaha bersama, di bawah pimpinan badan-badan masyarakat yang bertanggung-jawab kepada masyarakat.”
Kita boleh tidak setuju dengan defenisi tersebut. Tapi, Bung Hatta punya keyakinan tersendiri.  Dia bilang,“jalan ke sosialisme tidaklah satu, melainkan berbagai macam, sesuai dengan sejarah, pengalaman dan peradaban bangsa masing-masing dan juga dengan struktur negerinya.”
Rudi Hartono