KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbil
a’lamin, Puji Syukur Kami panjatkan kehadirat
Allah SWT berkat Rahmat dan izin-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah dengan Judul
“ETIKA PEMERINTAHAN DAERAH KOTA BAU BAU” .
Besar
harapan kami semoga makalah ini memberikan manfaat dalam khazana keilmuan,
menjadi referensi khususnya Fakultas
Ilmu Sosial dan politik Universitas Mulawarman. Kami menyadari dengan
sepenuhnya tentu banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik membangun dari para
pembaca untuk perbaikan penulisan dimasa mendatang.
Samarinda, 1 Mei 2018
Penulis
Juan
Firdaus
1702025076
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku individu dalam setiap segi kehidupan
memberikan pengaruh bagi keadaan di sekitarnya. Dalam berorganisasi
khususnya organisasi pemerintah, hal ini menjadi hal yang sangat penting karena
ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki oleh seorang individu saat berada
di dalam suatu lingkungan, selain itu hal ini pun menjadi sangat penting karena
menyangkut kehidupan Bangsa dan Warga Negara.
Saya tertarik untuk membahas mengenai etika dalam
pemerintahan lebih khusus pemerintahan Daerah Kota Bau bau, Buton. Karena etika
merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan yang baik dan
bersih sesuai dengan jalur norma-norma yang ada. Pemerintahan
harus dijalankan dengan baik pejabat dan staf yang mempunyai tugas utama dalam
memberikan pelayanan publik harus memperhatikan etika atau Standar operasional
persedur (SOP) sehinggaa segala pelayanan dapat berjalan dengan baik dan
memuaskan (pelayanan prima) diinstansi pemerintahan Daerah.
Buton yang mulai dikenal dalam Sejarah Nasional
dalam naskah Negara Kertagama karya Prapanca tahun 1365 Masehi
merupakan sebuah negeri atau daerah budaya bekas kerajaan / kesultanan yang
pernah berdaulat pada masanya, Buton telah menapaki proses perjalanan
sejarahnya selama kurang lebih 7 (tujuh) abad.
Buton memiliki sistem ketatanegaraan yang mapan
sehingga mampu menjaga integrasi wilayah dan rakyatnya selama ratusan tahun.
Wujud kegemilangan masa lalu negeri ini sebagian masih terefleksi dalam
kehidupan masyarakatnya hingga sekarang, baik dalam wujud sistem nilai
(norma-norma), adat-istiadat, benda-benda budaya, maupun dalam berbagai bentuk
pranata sosial budaya lainnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Buton
telah memiliki Falsafah Hidup yaitu Falsafah Bhinci-Bhinciki
Kuli yang merupakan landasan utama Hukum Adat Wolio. Makna-makna hakiki
yang terkandung di dalamnya kemudian terjabar dalam Sara
Pataanguna atau dasar hukum yang empat, yaitu sebagai berikut :
a. Pomaa
– maasiaka : Saling sayang menyayangi.
Artinya saling menyayangi, saling mencintai
terhadap sesama.
b. Poangka
- angkataka : Saling menghormati.
Artinya
saling menghormati, menghargai dan saling mengutamakan terhadap sesama.
c. Popia
– piara : Saling memelihara atau mengabdi.
Artinya
saling memelihara, mencintai atau saling mengabdi terhadap sesama.
d. Pomae
– maeka : Saling takut-menakuti.
Artinya saling merasa takut atau hormat
terhadap sesama.
1.2.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjadi
salah satu sumber bacaan dan pengetahuan bagi para pembaca khususnya pribadi
saya sendiri untuk mengenai Etika Pemerintahan pemerintahan. Memperkenalkan
Filsafah hidup suku buton yang tentunya memberikan pengaruh pada sistem
pemerintahan Kota Buton.
1.3. Rumusan
Masalah
1. Pengertian etika
pemerintahan.
2. Pengertian
Pemerintahan Daerah.
3. Apa yang dimaksud
dengan Sara
Pataanguna?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Etika Pemerintahan
Istilah “etika”
berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang,
kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, skap, cara berfikir . dalam bentuk
jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terahir inilah yang
menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filusuf
yunani besar aristoteles (384-322 S.M.)
Sedangkan kata ‘etika’
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak);
2.
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3.
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Pemerintahan dalam
arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala
tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
Dengan segala fungsi dan kewengannya.
Sudah di jelas kan
bagai mana pengertian mengenai etika dan pemerintah ataupun pemerintahan. Jadi
pengertian etika pemerintahan itu sendiri adalah Ajaran untuk berperilaku yang
baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
hakikat manusia.
2.2. Nilai
- niali etika dalam pemerintahan
Etika pemerintahan
disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai
keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :
1. Penghormatan terhadap
hidup manusia dan HAM lainnya.
2. kejujuran baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty).
3. Keadilan dan
kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang
lain.
4. kekuatan moralitas,
ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
5. Kesederhanaan dan
pengendalian diri (temperance).
6. Nilai-nilai agama dan
sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara
profesionalisme dan bekerja keras.
2.3 Pengertian Pemerintahan Daerah
Perubahan
ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan pemerintahan
daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) berbunyi :
“
Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah
propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”.
Sedang
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“pemerintah
daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan
dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintahan pusat”.
Definisi
Pemerintahan Daerah di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Melihat
definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan diatas,maka
yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dimana unsur
penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan
perangkat daerah.
Fungsi
pemerintah daerah dapat diartikan sebagai perangkat daerah menjalankan,
mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahan.
Fungsi
pemerintah daerah menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah :
a.
Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
b.
Menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
c.
Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan memiliki hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan
daerah. Dimana hubungan tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
2.4. Sara
Pataanguna Bhinci-Bhinciki Kuli : “Pomaa-maasiaka”
Falsafah
“Bhinci-bhinciki Kuli” (saling cubit-mencubit kulit) yaitu kemanusiaan/diri
manusia atau nafsahu telah dikembangkan oleh para ilmuwan (pemikir-pemikir)
lokal di Buton pada zamannya. Walaupun sistem pemerintahan kerajaan dan
kesultanan pada saat ini sudah tidak berjalan secara formal di lingkungan
masyarakat lokal, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih mengakar
dan melekat serta merasuk dalam lubuk hati sanubari masyarakat Buton.
Hukum bhinci-bhinciki
kuli merupakan “Pokok Adat dan Dasarnya Sara.” Dan dinyatakan pula bahwa
adat-istiadat Buton itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
Rasulullah SAW. Demikian pula sara di Buton itu adalah sara Allah SWT dan sara
Nabi SAW.
Dari
pengertian bhinci-bhinciki kuli yang telah dikemukakan di atas jika
dikaitkan dengan pelaksanaan tugas kepemimpinan, intinya adalah saling takut,
saling malu, saling segan dan saling insyaf. Hal ini jika diterapkan dalam
suatu organisasi/kelompok masyarakat, walaupun dalam lembaga tersebut ada
atasan, ada bawahan dan ada peserta personil lainnya atau terdapat berbagai
personil, berbagai suku dan agama, tingkat umur dan kepangkatannya, namun yang
ditakuti, dimalui, disegani dan diinsyafi adalah Tuhan YME di atas segalanya.
Falsafah
ini mengandung makna yang fundamental yaitu bahwa setiap manusia selaku anggota
masyarakat bila mencubit kulitnya sendiri pasti akan terasa sakit karena itu
janganlah mencoba mencubit kulit orang lain, sebab ia juga akan
merasa sakit sebagaimana anda sendiri akan merasakan sakitnya bila hendak
dicubit oleh orang lain. Falsafah ini bersumber dari keyakinan bahwa
manusia secara universal mempunyai perasaan yang sama. Seluruh umat manusia
dilahirkan ke dunia memiliki perasaan yang sama dan hak-hak azasi yang sama
pula sebagai anugerah Tuhan yang harus dihormati dan tidak boleh dilanggar oleh
siapapun juga. Secara singkat dapat dikatakan bahwa falsafah “Bhinci-Bhinciki
Kuli” identik dengan “perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Falsafah “bhinci-bhinciki
kuli” adalah dasar hukum yang dijadikan landasan nilai-nilai, cara
berfikir dan sekaligus sebagai sumber hukum. Dari falsafah“bhinci-bhinciki
kuli” tersebut kemudian lahirlah “sara pataanguna”, yaitupomaa-maasiaka,
pomae-maeka, poangka-angkataka, dan popia-piara.
Secara
lebih khususnya dijelaskan bahwa Falsafah “bhinci-bhinciki kuli”yaitu
salah satunya adalah Pomaa – maasiaka berarti senantiasa hidup saling
peduli dan saling menyayangi antara sesama anggota masyarakat. Hal ini
mengandung makna yang luhur, bahwa antara masyarakat harus saling menyayangi
dan kasih mengasihi secara timbal balik, saling menyayangi antara yang muda
kepada yang tua, demikian pula sebaliknya, antara si kaya dan si miskin, antara
si kuat dan si lemah, pemerintahan dengan rakyatnya dan lain sebagainya.
Dengan
demikian rasa kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong dapat akan berjalan
dalam masyarakat. Namun, apabila pomaa-maasiaka ini tidak diindahkan
lagi. Maka timbul sifat sebaliknya, yaitu iri hati, dengki dan sifat-sifat
menjatuhkan harga diri yang bisa memecah belah rasa kekeluargaan, kebersamaan,
dan gotong royong.
2.5. Falsafah
Bhinci-Bhinciki Kuli “Pomaa-maasiaka” dari Segi Ekonomi
Sebelum
membahas tentang Falsafah Bhinci – Bhinciki Kuli “Pomaa-maasiaka” dari segi
ekonomi, kita mengulas terlebih dahulu arti dari ekonomi itu sendiri.
Kata
“ekonomi” berasal dari kata Yunani, oikos yang berarti “keluarga,
rumah tangga” dan nomos atau peraturan, aturan, hukum. Jadi secara
garis besar, ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau
“manajemen rumah tangga”.
Ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan
kemakmuran. Ekonomi merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama halnya dengan
keberadaan manusia di bumi ini sehingga kemudian timbul motif ekonomi yaitu
keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ekonomi
memiliki prinsip, dimana prinsip tersebut merupakan langkah yang dilakukan
manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan pengorbanan tertentu untuk
memperoleh hasil yang maksimal.
2.6. Falsafah
Bhinci-Bhinciki Kuli “Pomaa-maasiaka” dari Segi Sosial
Menurut
pendapat Dr. Bambang Rudito, di
kehidupan kita sebagai anggota masyarakat istilah sosial sering dikaitkan
dengan hal- hal yang berhubungan dengan manusia dalam
masyarakat, seperti
kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan seterusnya.
Dan juga sering diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah
pada rasa empati terhadap kehidupan
manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikatakan sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikatakan sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Sosial
berkaitan dengan kemanusiaan sehingga dapat diasumsikan sosial pada dasarnya
mengarah pada bentuk atau sifatnya yang humanis atau kemanusiaan dalam artian
kelompok, yang mengarah pada hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat.
Sehingga dapat dimaksudkan bahwa sosial merupakan rangkaian norma, moral, nilai
dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang
digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar manusia.
Dari
pernyataan di atas, jika dikaitkan dengan Falsafah Bhinci – Bhinciki
Kuli “Pomaa-maasiaka” dari segi sosial, maka interaksi antar hubungan sesama
manusia atau masyarakat haruslah dilandasi kasih sayang, walaupun ada perbedaan
status dalam lingkungannya.
Berdasarkan
asal-usul katanya (etimologis), budaya bentuk jamaknya kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta “budhayah” yang merupakan bentuk jamak budi, yang artinya
akal atau segala sesuatu yang berhubungan dengan akal pikiran manusia.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan budaya dalam dua pandangan yaitu
: pertama, hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian dan adat-istiadat; kedua, menggunakan pendekatan
ilmu antropologi yaitu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya yang akan menjadi
pedoman tingkah lakunya.
Budaya
memiliki perwujudan, contohnya adanya aktivitas (tindakan) yang merupakan suatu
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, sering pula disebut
dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia
lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan
didokumentasikan.
Dapat
dilihat dari berbagai contoh, di antaranya dalam pelaksanaan kepemimpinan,
seorang pemimpin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selalu
membimbing dan membantu para bawahan dan staf lainnya melalui teguran secara
langsung agar kesalahan yang dibuat oleh bawahannya tidak berlarut-larut. Di
samping itu, adanya kasih sayang yang diberikan guru terhadap siswanya, bawahan
yang selalu memberi salam dan mematuhi nasihat atasannya. Kasih sayang tidak
sebatas hanya sesama manusia saja, akan tetapi juga semua makhluk ciptaan-Nya
seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Berkaitan
dengan hal ini, maka dalam falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli
“Pomaa-maasiaka” dari segi budaya dapat dimaknai bahwa setiap perilaku
yang dilakukan setiap hari harus berlandaskan saling mengasihi antara yang satu
dengan yang lainnya.
2.7. Falsafah
Bhinci-Bhinciki Kuli “Pomaa-maasiaka” dari Segi Politik
Perkataan
politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa
Yunanipoliticos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga Negara
atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya
kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai
kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu artinya
1. Pengetahuan
mengenai kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);
2. Segala
urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan atau terhadap Negara lain; dan
3. Kebijakan,
cara bertindak (dalam menghadapi atau mengenai suatu masalah).
Istilah
politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan,
dasar-dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada
dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Dapat
disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat
dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Dari
segi politik, arti dalam falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli “Pomaa-maasiaka” yaitu
dalam proses pengambilan kebijakan dalam tatanan pemerintahan harus
berlandaskan kasih sayang, di mana tidak ada kerugian yang diterima oleh kedua
belah pihak, baik rakyat ataupun pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika pemerintahan itu
sendiri adalah ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan
nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat,
masyarakat Buton telah memiliki Falsafah Hidup yaitu
Falsafah Bhinci-Bhinciki Kuli yang merupakan landasan utama Hukum
Adat Wolio, dasar hukum yang dijadikan landasan nilai-nilai, cara berfikir dan
sekaligus sebagai sumber hukum yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Makna-makna hakiki yang terkandung di dalamnya kemudian terjabar
dalam Sara Pataanguna atau dasar hukum yang empat, yaitu sebagai
berikut :
- Pomaa
– maasiaka
- Poangka
- angkataka
- Popia
–
piara
- Pomae
– maeka
3.2 Saran
Setiap instansi harus
mempublikasi standar operasional persedur menyakut pelayanan Public agar
masyarakat mengetahui dan ketentuan dan persyaratan penyelesaian Administarasi.
Staf/ pegawai pemerintahan harus mengutamakan etika dalam pelayanan sehingga
terwujud Pelayanan Prima.
DAFTAR
PUSTAKA
Boim. “
Pemerintahan Daerah ”. 27 April 2018
Dian. “ Pengertian, Fungsi, dan asas Pemerintahan ”. 27 April 2018
Utami,
Ranti Fatya. “11 Undang-undang yang Mengatur Pemerintahan Daerah di Indonesia
”. 27 April 2018
0 Comments:
Posting Komentar