Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc795fc01a0b/pihak-i-dan-pihak-ii
Pertanyaan :
Pertanyaan :
Pihak I dan Pihak II
1. Posisi penempatan sebagai Pihak I atau Pihak II, ditentukan oleh apa? 2. Apabila perusahaan kami mengadakan perjanjian kerjasama service kendaraan dengan Bengkel Resmi, kami menyerahkan kendaraan kami untuk di-service secara Rutin, yang kami tanyakan siapa yang menjadi Pihak I, Pihak II? Kemudian, perjanjian tersebut dibuat di atas kertas kop perusahaan siapa? Terima kasih.
Jawaban :
1. Pertama, setahu kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pihak mana yang harus disebut pertama kali dalam perjanjian atau menjadi Pihak I dan pihak pihak mana yang disebut setelahnya atau menjadi Pihak II dalam suatu perjanjian. Yang menentukan siapa yang menjadi pihak I dan pihak II adalah kesepakatan dari para pihak sendiri. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), di mana para pihak bebas untuk menentukan isi dan bentuk dari perjanjian yang hendak mereka buat, termasuk menentukan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.
Kedua, penyebutan para pihak di dalam perjanjian tidak harus menggunakan sebutan/nama “Pihak I” dan “Pihak II”, tapi juga sebutan/nama lain yang disepakati para pihak. Yang harus diperhatikan adalah konsistensi dalam penggunaan sebutan/nama yang telah dipilih dalam suatu perjanjian.
Sementara itu, di dalam praktik pada umumnya adalah pihak yang membuat perjanjian yang ditulis lebih dahulu atau menjadi pihak I dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian hutang piutang misalnya, yang disebut lebih dahulu/menjadi pihak I biasanya adalah Kreditur dan setelah itu barulah si Debitur. Atau contoh lainnya adalah dalam perjanjian kerja, pihak pemberi kerja (perusahaan) umumnya disebut lebih dahulu, baru kemudian si pekerja (karyawan).
2. Seperti telah diuraikan di atas, para pihak bebas untuk menentukan siapa yang menjadi pihak I dan siapa yang menjadi pihak II. Jadi, bisa saja anda yang menjadi pihak I dan bengkel tersebut yang menjadi pihak II, atau sebaliknya. Ini juga berlaku untuk kop surat siapa yang harus dipakai. Para pihak bisa menentukan sendiri apakah akan memakai kop surat salah satu pihak, atau malah tanpa kop surat sama sekali. Hal-hal tersebut tidak memiliki akibat hukum.
Yang perlu Anda perhatikan adalah adanya dua orang yang menjadi saksi dibuatnya perjanjian tersebut dan pembubuhan tanda tangan di atas meterai agar perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan (lihat pasal 2 ayat [1] huruf a UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai).
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
0 Comments:
Posting Komentar